Assalamu'alaikum

Senin, 16 Februari 2009

Belajar Memaafkan dan Ikhlas dari Si Kecil

Di dalam Ash-Shahi disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Dia melihat hati kalian." [Hadits Riwayat Muslim]

Karena hati adalah cerminan akhlaq setiap manusia, bila hati seseorang itu rusak maka rusak pulalah jasadnya.

Di dalam hadist Rosulullah SAW, disebutkan bahwa “….di dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik, maka baiklah jasad itu seluruhnya, dan jika ia rusak, maka rusaklah jasad itu seluruhnya. Alaa wahiyal qolbu. Itulah hati.” (HR Bukhari dan Muslim)

Itulah hati yang selalu menjadi raja dalam diri kita, apa bila kita tidak mengendalikannya dengan baik, maka hati itu akan menjerumuskan kita pada perbuatan dosa, syirik, dengki, dendam dan pemarah. Setiap manusia di berikan hati oleh Allah swt untuk menentukan satu kebaikan, apa bila hati itu tidak di bimbing dengan baik, maka dia akan rusak, serta membawa jasad kita pada keburukan akhlaq. Nauzubillahi min zalik.

Ketika masa SMA dulu, saya sering mendengar perseteruan antara teman, yang mungkin sebenarnya dapat di selesaikan dengan baik, namun tahun sudah berlalu, rasa sakit itu masih di bina, sehingga ketika bertemu, bagai dua orang yang tidak pernah kenal satu sama lain. Ini mungkin yang harus kita perbaiki, dimana setiap hati itu kita yang mengendalikan, dan bila si empunya hati itu terus menerapkan keikhlasan, maka tidak akan terjadi saling tuding dan saling emosi yang mengakibatkan jidal ( saling menjawab/ bantah-bantahan). Sering kali kita lupa pada diri kita, bila kita sudah melihat keburukan seseorang, banyak argumentasi yang selalu ingin membenarkan diri kita sendiri.

Sesungguhnya sifat pemaaf itu lah yang membentuk diri kita menjadi seseorang yang berhati mulia dan Allah s.w.t menyukai orang-orang yang bersifat pemaaf.

Firman Allah swt, yang bermaksud: "Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan" (Surah Al-Imran:Ayat 134)

Saya telah banyak dapat pelajaran berharga dari si kecil. Saat ini dia berumur 10 tahun, sejak kecil saya sudah mengajarkannya untuk menjadi orang pemaaf, demikian juga dengan kedua anak saya yang lain. Tapi memang si kecil ini lebih kritis dari kedua kakaknya, sehingga sering sekali saya mendapat teguran darinya. Contohnya saja ketika dia masih di sekolah TK, hampir setiap hari saya harus mengantar dan menjemputnya.

Suatu hari saya pernah mendapat teguran darinya, saat itu saya sedang menjemputnya dari TK, dan pada saat hendak naik Tram ( kereta ), si kecil saya melihat ada seorang nenek menbawa tas berat, dan saya sama sekali tidak memperhatikannya, tiba-tiba dia menegur saya " Ummi...kenapa kok Ummi gak bantuin nenek itu sih ?, kan kasihan, nanti kalau Ummi sudah tua juga kayak dia gimana? " Saya benar-benar tersentuh dengan tegurannya, saya tidak menyangka dia akan berkata demikian, karena memang sejak tadi saya tidak memperhatikan nenek itu sama sekali.

Sejak saat itu saya harus lebih hati-hati lagi dalam melakukan sesuatu, seperti beberapa hari lalu, saya juga di kejutkan dengan ulahnya. Saat itu dia pulang dengan membawa coklat yang masih utuh, padahal coklat itu saya berikan untuknya sebagai tambahan, bila nanti di sekolah dia masih lapar, tapi rupanya dia tidak memakannya, padahal setahu saya dia sangat suka sekali dengan coklat itu. Ketika saya tanya, "kenapa coklatnya belum di makan", dia menjawab

" sebenarnya coklat ini tadi ismail kasihin ke daniel, tapi dia minta pegangin dulu, lalu kebawa pulang deh "

Jawaban itu membuat hati saya terharu, karena baru saja kemarin anak saya di buat kesal oleh temannya itu. ceritanya temannya itu memberi kertas mainan kepadanya, tapi ketika dia hendak pulang kertas itu di mintanya kembali, terlihat di wajahnya sangat sedih, begitu dia sampai di rumah. Dan saat itu anak saya ingin memberikan coklat kesayangannya itu untuk temannya yang sudah menyakitinya. Ketika saya tanya lagi pada dia,

" kenapa coklat itu hendak di berikan ke temannya "

" karena dia kan teman Ismail " ,

subhanallah nak sungguh bersih hati mu, semoga Allah swt menjaganya senantiasa.

Itu semua jadi pelajaran untuk saya, agar senantiasa membersihkan hati dari dendam dan senantiasa ikhlas, walaupun mungkin kita sudah di sakitinya, namun memaafkan itu lebih indah dari pada menyimpan dendam. Kadang kita merasa dia ( teman kita) sudah menyakiti kita, tapi apakah teman kita itu tahu bahwa kata-katanya telah membuat kita tersinggung, adakalanya kita terlalu sensitif dan terlalu berperasaan, sehingga tidak memakai logika yang baik. Saya juga pernah dapat nasehat dari kakak saya, saat itu saya juga sedang tersinggung dengan seseorang, ketika saya mengadukan hal itu pada kakak saya, lalu kakak saya mengatakan :

" kalau seseorang telah menyakiti kamu, lihatlah satu kebaikan yang pernah dia perbuat terhadap kamu, maka kamu akan terlupa dengan kata-kata atau perbuatannya yang manyakiti kamu, dan kamu akan memaafkannya ".

Itulah hati, sekerat daging yang ada di dalam tubuh kita, yang kian hari kian baik bila kita memeliharanya dengan menumbuhkan cinta serta ikhlas kepada siapa pun. Dan juga pada yang memberikan hati yaitu ALLAH Azza wa Jalla.

Seperti dikatakan Rasullulah SAW dalam sebuah Hadits. “Hati itu ada empat, yaitu hati yang bersih, di dalamnya ada pelita yang bersinar. Maka, itulah hati orang mukmin. Hati yang hitam lagi terbalik, maka itu adalah hati orang kafir. Hati yang tertutup yang terikat tutupnya, maka itu adalah hati orang munafik, serta hati yang dilapis yang di dalamnya ada iman dan nifak.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Mari teman-teman kita bersihkan hati kita dari segala penyakit hati, perangilah hati kita dari semua keburukan, karena hati merupakan hakikat manusia,
sekaligus menjadi cermin kebaikan dan kerusakannya. Kita tidak harus memburu hati kita dengan senapan, seperti perang yang terjadi di Palestina dengan para zionis israel, karena memang seluruh dunia tahu bahwa perang itu adalah untuk menumpas kebathilan, berbeda dengan kita, yang hanya memerangi hati kita dari penyakit hati, dengan cara dzikir dan berdoa, serta memohon pada yang Maha Kuasa agar hati kita di tetapkan dalam kebaikan.

Ingatkah kita tentang cerita Rosulullah saw kepada Anas bin Malik, ketika itu Beliau sedang berkumpul dengan para sahabat, lalu Beliau mengtakan kepada para sahabat, akan datang seorang ahli syurga. Sehingga salah satu dari sahabat sempat bermalam di rumahnya, untuk mengetahui apa saja yang telah di kerjakan oleh ahli syurga tersebut, namun tidak ada yang istimewa dengan nya, melainkan ketika dia hendak tidur, dia selalu memaafkan dan tidak punya dendam pada siapa pun. Jadi memang tidak ada yang istimewa darinya, kecuali kebersihan hati yang di milikinya.

Inginkah kita juga menjadi ahli syurga...? jadilah hamba Allah yang pemaaf yang selalu membersihkan hati kita dari segala penyakit hati. Dan jangan lupa pula, kita doa kan teman-teman kita yang mungkin tidak sengaja telah menyinggung perasaan dan hati kita, saat berinteraksi dengan kita, semoga Allah swt memberi hidayah kepadanya. Amiin ya Robbal´alamiin.

Heidenheim 5 Februari 2009.

Gua


Dua orang pemuda tampak berdiskusi di sebuah mulut gua. Sesekali, mereka memandang ke arah dalam gua yang begitu gelap. Gelap sekali! Hingga, tak satu pun benda yang tampak dari luar. Hanya irama suara serangga yang saling bersahutan.

“Guru menyuruh kita masuk ke sana. Menurutmu, gimana? Siap?” ucap seorang pemuda yang membawa tas besar. Tampaknya, ia begitu siap dengan berbagai perbekalan.

“Menurut petunjuk guru, gua ini bukan sekadar gelap. Tapi, panjang dan banyak stalagnit, kelelawar, dan serangga,” sahut pemuda yang hanya membawa tas kecil. Orang ini seperti punya kesiapan lain di luar perbekalan alat. “Baiklah, mari kita masuk!” ajaknya sesaat kemudian.

Tidak menyangka dengan ajakan spontan itu, pemuda bertas besar pun gagap menyiapkan senter. Ia masuk gua beberapa langkah di belakang pemuda bertas kecil. “Aneh!” ucapnya kemudian. Ia heran dengan rekannya yang masuk tanpa penerangan apa pun.

Dari mulai beriringan, perjalanan keduanya mulai berjarak. Pemuda bertas besar berjalan sangat lambat. Ia begitu asyik menyaksikan keindahan isi gua melalui senternya: kumpulan stalagnit yang terlihat berkilau karena tetesan air jernih, panorama gua yang membentuk aneka ragam bentukan unik, dan berbagai warna-warni serangga yang berterbangan karena gangguan cahaya. “Aih, indahnya!” gumamnya tak tertahan.

Keasyikan itu menghilangkannya dari sebuah kesadaran. Bahwa ia harus melewati gua itu dengan selamat dan tepat waktu. Bahkan ia tidak lagi tahu sudah di mana rekan seperjalanannya. Ia terus berpindah dari satu panorama ke panorama lain, dari satu keindahan ke keindahan lain.

Di ujung gua, sang guru menanyakan rahasia pemuda bertas kecil yang bisa jauh lebih dulu tiba. “Guru…,” ucap sang pemuda begitu tenang. “…dalam gelap, aku tidak lagi mau mengandalkan mata zhahir. Mata batinkulah yang kuandalkan. Dari situ, aku bisa merasakan bimbingan hembusan angin ujung gua, kelembaban cabang jalan gua yang tak berujung, batu besar, dan desis ular yang tak mau diganggu,” jelas sang pemuda begitu meyakinkan.
**

Ada banyak “gua” dalam hidup ini. Gua ketika seseorang kehilangan pekerjaan. Gua di saat gadis atau lajang terus-menerus tertinggal peluang berjodoh. Gua di saat orang alim menjadi sulit dipercaya. Gua ketika bencana begitu buta. Dan, berbagai “gua” lain yang kadang dalam gelapnya menyimpan seribu satu keindahan yang membuai.

Sebagian kita, suka atau tidak, harus menempuh rute jalannya yang gelap, lembab, dan penuh jebakan. Sayangnya, tidak semua kita mampu menyiapkan bekal secara pas. Kita kadang terjebak dengan kelengkapan alat. Dan, melupakan bekalan lain yang jauh lebih jitu dan berdaya guna: kejernihan mata hati.

Mata hatilah yang mampu menembus pandangan di saat “gelap”. Mata hatilah yang bisa membedakan antara angin tuntunan dengan yang tipuan. Kejernihannya pula yang bisa memantulkan ‘cahaya’ yang sejati. (mnuh)

Sumber : Eramuslim.com

Malam


Di pinggiran sebuah hutan, satu keluarga kelinci mulai beranjak tidur. Malam membatasi gerak anak-anak mereka hanya di sekitar lubang yang menjadi rumah mereka. Walau tak berpintu, anak-anak kelinci seperti melihat dinding tebal antara rumah dan dunia luar.

Seekor anak kelinci bertingkah lain dari yang lain. Sesekali, ia menjulurkan kepalanya keluar lubang. Ia menoleh ke kiri dan kanan mencari sesuatu yang dianggapnya baru. Tapi, tindakan itu dicegah keras induknya. “Jangan coba-coba lakukan itu lagi, Nak!” teriak sang induk marah.

“Kenapa, Bu?” tanya anak kelinci heran. “Kenapa tak satu kelinci pun yang berani keluar lubang di saat malam?”

Induk kelinci menatap anaknya tajam. “Anakku,” ucapnya kemudian. “Malam sangat berbahaya untuk hewan seperti kita. Ketika malam datang, lubang menjadi tempat yang paling aman buat kita,” jelas sang induk kemudian.

“Bukankah tanah di sekitar sini hanya dihuni para kelinci, Bu?” sergah si anak menawarkan sudut pandang lain.

Induknya tersenyum. “Anakku, justru karena malamlah, kita tidak bisa membedakan mana teman dan mana pemangsa. Sabarlah untuk bergerak sekadarnya, hingga siang benar-benar datang!” ucap sang induk kelinci begitu meyakinkan.
**

Malam dan siang memang bukan sekadar pergerakan sisi bumi yang menjauh dan menghadap ke arah matahari. Ada makna lain dari yang namanya malam. Sesuatu yang menggambarkan suasana gelap, tertutup, curiga, dan ketakutan.

Dalam diri manusia pun punya dua suasana itu: malam dan siang. Malam menunjukkan suasana hati yang picik dan dangkal, dan siang menggambarkan kelapangan dada. Pada hati yang terselimuti malam, orang menjadi mudah curiga, senang dengan yang serba tertutup, sulit memaafkan, bahkan berkecenderungan menjadi pemangsa.

Orang bijak mengatakan, siang adalah di mana kita mampu membedakan antara pohon nangka dengan pohon cempedak. Selama kita tidak bisa menangkap kearifan diri kita pada wajah orang yang kita temui, jam berapa pun itu, hal itu menandakan kalau hari masih malam. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Sumber : Eramuslim.com

Mimpi



Di sebuah pinggiran kota, seekor kuda tampak berlari-lari kecil menelusuri jalan desa. Di atas punggungnya seorang pemuda menunggangi dengan begitu bersemangat. Sesekali sang kuda meringkik sebagai sambutan dari lecutan kecil tuannya. "Hayo hitam, hebaa...hebaa...," suara sang tuan sambil menepuk punggung belakang kuda.

"Kenapa kamu begitu bersemangat, Hitam? Padahal, kamu sudah begitu jauh berlari?" tanya seekor kerbau di sebuah tempat istirahat hewan tunggangan. Beberapa kuda lain tampak berbaring santai sambil mengunyah rumput hijau. Tali-tali kekang mereka masih terikat di tiang-tiang yang sudah disediakan. Kebetulan, sang kerbau berada tak jauh dari si kuda hitam. Dan Si Hitam pun menoleh ke kerbau.

"Aku punya mimpi, Teman!" jawab Si Hitam kepada kerbau. Sinar wajah Si Hitam masih menampakkan semangat yang tinggi. Ia sama sekali tak terlihat lelah.

"Mimpi?" tanya sang kerbau begitu penasaran.

"Ya, mimpi!" jawab Si Hitam begitu yakin. "Setiapkali meninggalkan kandang, aku memimpikan kalau tuanku akan membelikanku sepatu bagus. Dan setiapkali akan pulang, aku membayangkan kalau tuanku sudah menyiapkan rerumputan hijau di kandang. Ah, sungguh mengasyikkan!" jelas Si Hitam begitu optimis.

"Tapi, kenapa sepatumu masih jelek?" tanya sang kerbau sambil mencermati telapak kaki Si Hitam.

"Aku yakin, mimpiku akan jadi kenyataan. Mungkin besok, tuanku akan membelikanku sepatu," jawab Si Hitam begitu bergairah.

"Bagaimana kalau tidak juga?" sergah si kerbau seperti menggugat.

"Ya, besok lagi!" jawab Si Hitam masih optimis. "Pokoknya, aku tidak pernah kehilangan mimpi!" ucap Si Hitam sambil mengalihkan wajahnya ke arah rumput yang tersedia di hadapannya. Dan ia pun mengunyah sambil menanti tuannya yang akan mengajaknya pulang.

***

Tidak semua mimpi muncul di saat tidur. Ada mimpi-mimpi yang lahir kala seseorang sedang terjaga. Bahkan, sangat terjaga. Mimpi jenis ini bisa diibaratkan seperti bahan bakar. Orang pun menjadi lebih bergerak dinamis. Jarak yang jauh terasa dekat. Halangan dan rintangan pun menjadi tak punya arti.

Itulah mimpi yang digenggam para orang tua terhadap masa depan anak-anaknya. Itu juga mimpi yang melekat pada para pemimpin sejati. Dan, mimpi yang dimiliki oleh siapa pun yang tak pernah lelah melakukan perubahan keadaan diri. Mereka terus bergerak pada untaian moto hidup: mimpi hari ini adalah kenyataan hari esok.

Menarik apa yang telah diucapkan Si Kuda Hitam kepada sang kerbau, "Jangan pernah kehilangan mimpi!"

Sumber : Eramuslim.com
 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates