Assalamu'alaikum

Rabu, 19 Mei 2010

Makna Laa ilaaha illallaah


Inti ajaran islam adalah لا إله إلا ألله [Laa ilaaha illallaah] yang bermakna لا معبد بحق إ لا الله [Laa ma'buda bihaqqin illallaah] = tiada yang diibadahi di segala langit dan bumi dengan haq kecuali hanya Allah.

Kalimat Tauhid Laa ilaaha illallaah memiliki dua rukun yaitu
النفي (An-Nafiyu = menafikan/meniadakan) dan الإثبات (Al-Itsbat = menetapkan),
atau
التجريد (At-Tajrid = mengosongkan/menanggalkan) dan التفريد (At-Tafrid = menyendirikan),
atau
الولاء (Al-Wala’ = loyalitas) dan البراء (Al-Bara’ = berlepas diri).

[Hasyiyah Tsalatsatul-Ushul hal. 54, ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Qasim Al-Hanbali An-Najdi]

.

Dalam tulisan ini insyaAllah akan dibahas mengenai rukun النفي (An-Nafiyu) dan الإثبات (Al-Itsbat),
1. An-Nafy (pada kalimat: Laa ilaaha), yaitu menafikan segala bentuk sesembahan yang ada.
2. Al-Itsbat (pada kalimat: Illallaah), dan menetapkan penyembahan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

.

1. An-Nafiyu
An-Nafiyu mencakup empat perkara, yaitu An-Nafy (meniadakan) Al-Alihah, Ath-Thaghut, Al-Andad (tandingan-tandingan) dan Al-Arbab.
[Al-Wala’ wal-Bara’ Fil-Islam, Muhammad bin Sa’id bin Salim Al-Qahthany]

a) Al-Alihah
Alihah adalah jamak daripada ilah, yaitu apa yang dituju dengan sesuatu hal (dengan tindakan atau perbuatan) dalam rangka mencari manfaat atau menolak bala (bencana) .

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: “Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?” (QS. As Shaffat 37: 35-36)

“Apakah dengan menjadikan kebohongan kamu menghendaki sembahan-selain Allah”. (QS Ash-Shaffat 37:86).

“Dan mereka (orang-orang kafir) heran bahwa telah datang kepada mereka seorang pemberi peringatan dari mereka. Dan telah berkata orang-orang kafir ini adalah penyihir pendusta. Apakah dia telah menjadikan sembahan-sembahan menjadi sembahan yang satu. Sesungguhnya ini benar-benar suatu yang mengherankan”. (QS. Shad :4-5)

Contoh dari sesuatu hal yang dianggap ibadah disini misalnya memberikan sesajian-sesajian pada batu atau pohon keramat, melemparkan makanan ke laut untuk persembahan, menyembelih tumbal untuk jin penunggu, meminta do’a kepada penghuni kubur, dan yang semacamnya dengan maksud menolak bala ataupun meminta manfaat dengan perbuatan tersebut.

Meskipun batu, pohon, atau kuburan keramat itu tidak disebut tuhan, akan tetapi hakikat perbuatan mereka itu adalah mempertuhankan selain Allah. Maka orang-orang yang melakukan hal itu adalah musyrik, meski mereka mengaku muslim.

Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad rahimahullah berkata: “Ulama berijma, baik ulama salaf maupun khalaf dari kalangan para shahabat dan tabi’in, para imam dan semua Ahlus Sunnah bahwa orang tidak dianggap muslim kecuali dengan cara mengosongkan diri dari syirik akbar dan melepaskan diri darinya” [Ad Durar As Saniyyah: 2/545]. Beliau juga berkata: “Siapa yang berbuat syirik, maka dia telah meninggalkan Tauhid” [Syarah Ashli Dienil Islam, Majmu’ah tauhid].

b) Al-Arbab
Arbab adalah bentuk jamak daripada Rabb, yang artinya tuhan yang mengatur dan menentukan hukum. Allah disebut Rabbul ‘alamin karena Allah yang mengatur alam ini baik secara kauniy (hukum alam) maupun secara syar’iy (syari’at). Sedangkan jika ada orang yang mengaku atau mengklaim bahwa dia berhak mengatur, berarti dia memposisikan dirinya sebagai Rabb.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mendefinisikan rabb itu adalah: “Yang memberikan fatwa kepada engkau dengan fatwa yang menyelisihi kebenaran, dan kamu mengikutinya seraya membenarkan”.

Ketika orang mengikuti apa yang bertentangan dengan hukum Allah maka dia disebut mempertuhankan, sedangkan yang diikutinya yang mana ia mengetahui bahwa hal itu pembuatan aturan, maka dia memposisikan dirinya sebagai Rabb.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah 9:31)

Di dalam atsar yang hasan dari ‘Adiy Ibnu Hatim (dia asalnya Nashrani kemudian masuk Islam) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam membacakan ayat itu dihadapan ‘Adiy Ibnu Hatim, maka dia berkata: “Wahai Rasulullah, kami dahulu tidak pernah ibadah dan sujud kepada mereka (ahli ilmu dan para rahib)” maka Rasulullah berkata, “Bukankah mereka itu menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian ikut-ikutan menghalalkannya? Bukankah mereka mengharamkan apa yang telah Allah halalkan lalu kalian ikut-ikutan mengharamkannya?” lalu ‘Adiy Ibnu Hatim berkata, “Ya, betul” lalu Rasulullah berkata lagi, “Itulah bentuk peribadatan orang-orang Nashrani kepada mereka itu” [HR. At Tirmidzi]

Jadi, ketika alim ulama memposisikan dirinya sebagai pembuat hukum mengklaim memiliki kewenangan untuk membuat hukum/undang-undang, maka dia mengkalim bahwa dirinya sebagai Rabb. Sedangkan orang yang mengikuti atau menjalankan hukum-hukum yang mereka buat itu, maka Allah memvonisnya sebagai orang yang telah mempertuhankan, yang beribadah kepada si pembuat hukum itu dan melanggar Laa ilaaha illallaah lagi musyrik.

“Menentukan hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf 12:40)

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa hak menentukan hukum itu hanyalah milik Allah, hak membuat hukum, aturan, undang-undang hanyalah milik Allah. Dan Allah memerintahkan agar tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah. Dalam ayat ini penyandaran hukum disebut ibadah. Jika disandarkannya kepada Allah berarti ibadah kepada Allah, sedangkan jika disandarkan kepada selain Allah berarti ibadah kepada selain Allah, itulah dien yang lurus, akan tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.

Fir’aun ketika mengatakan “Akulah tuhan kalian tertinggi” adalah bukan dimaksudkan bahwa dia itu pencipta manusia atau yang menyediakan berbagai sarana kehidupan buat manusia, akan tetapi dia maksudkan “Sayalah pembuat hukum bagi kalian yang hukumnya harus kalian ikuti…!”.

Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi rahimahullah ketika menjelaskan surat Al An’am: 121 dan At Taubah: 31, mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang mengikuti aturan, hukum, dan undang-undang yang menyelisihi apa yang Allah syri’atkan lewat lisan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka dia musyrik terhadap Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai Rabb (Tuhan)”. [Al Hakimiyyah: 56]

Jadi, kesimpulannya bahwa Arbab adalah orang yang mengaku bahwa dirinya berhak membuat hukum/aturan/undang-undang, dengan kata lain Arbab adalah orang-orang yang mempertuhankan diri, sedangkan orang yang mengikuti hukum buatan para Arbab itu disebut dengan orang musyrik, dan peribadatan kepada Arbab ini adalah bukan dengan shalat, sujud, do’a, nadzar atau istighatsah, akan tetapi dengan mengikuti, mentaati, dan loyalitas terhadapnya. Sehingga pada saat Fir’aun mencela Nabi Musa dan Harun, dia mengatakan:

“Dan mereka berkata: “Apakah (patut) kita percaya kepada dua orang manusia seperti kita (juga), padahal kaum mereka (Bani Israil) adalah orang-orang yang beribadah kepada kita?” (QS. Al Mu’minun 23:47)

Maksud “beribadah” di atas adalah ketaatan, oleh karena itu ketaatan kepada Fir’aun disebut beribadah kepada Fir’aun. Dan begitu juga orang sekarang yang taat kepada hukum buatan para Arbab itu adalah disebut orang yang beribadah kepada Arbab tersebut. Inilah penjelasan tentang Arbab yang menjadi bagian kedua yang harus dinafikan oleh Laa ilaaha illallaah.

c) Al-Andad
Andad adalah jamak dari kata nidd, yang artinya tandingan, maksudnya adalah tandingan bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Allah memerintahkan agar kita hanya menghadapkan dan menjadikan-Nya sebagai tujuan satu-satunya. Tidak boleh seseorang mengedepankan yang lain terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah berfirman tentang nidd ini atau tentang Andad ini:

“…Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sedang kamu mengetahui”. (QS. Al Baqarah 2: 22)

Andad adalah sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam, atau sesuatu yang memalingkan kamu daripada Al Islam atau Tauhid, baik itu anak, isteri, jabatan, harta, atau apa saja yang mana jika hal itu memalingkan seseorang daripada Tauhid atau memalingkan seseorang dari pada Al Islam atau menjerumuskan seseorang kepada kekafiran atau ke dalam kemusyrikan, maka sesuatu hal itu sudah menjadi Andad, tandingan bagi Allah Subhanahuwata’ala.

“Dan dari sebagian manusia menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan, mereka mencintai tandingan-tandingan itu seperti mencintai Allah”. (QS. Al-Baqarah 2:165).

Singkatnya, segala sesuatu yang memalingkan seseorang daripada Tauhid dan Al Islam disebut Andad.

d) Ath-Thaghut
Thagut adalah yang disembah dan diminta dari selain Allah, dan dia (yang diminta dan disembah) ridlo terhadap yang demikian itu.

Thagut itu banyak macamnya, tokoh-tokohnya ada lima :
1] Iblis, yang telah dilaknat oleh Allah.
2] Orang yang disembah, sedang dia sendiri rela.
3] Orang yang mengajak manusia untuk menyembah dirinya.
4] Orang yang mengaku tahu sesuatu yang ghaib, dan
5] Orang yang memutuskan sesuatu tanpa berdasarkan hukum yang telah
diturunkan oleh Allah.
[Ushuluts Tsalatsah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab]

Sesungguhnya kewajiban pertama yang Allah fardhukan atas anak Adam adalah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Alah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana yang Dia firmankan:

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat itu seorang rasul (mereka mengatakan kepada kaumnya): Ibadahlah kepada Allah dan jauhi thaghut…” (QS. An Nahl 16:36)

Perintah kufur terhadap thaghut dan iman kepada Allah adalah inti dari ajaran semua Rasul dan pokok dari Islam. Dua hal ini adalah landasan utama diterimanya amal shalih, dan keduanyalah yang menentukan status seseorang apakah dia itu muslim atau musyrik, Allah ta’ala berfirman:

“Siapa yang kufur terhadap thaghut dan beriman kepada Allah, maka dia itu telah berpegang teguh kepada buhul tali yang sangat kokoh” (QS. Al Baqarah 2:256)

Bila seseorang beribadah shalat, zakat, shaum, haji dan sebagainya, akan tetapi dia tidak kufur terhadap thaghut maka dia itu bukan muslim dan amal ibadahnya tidak diterima.

Sayyidina Umar ibn al-Khattab mengatakan, “Thogut adalah syaitan”

Jabir bin Abdullah berkata: “Thaghut adalah para dukun yang setan turun kepada mereka di suatu daerah.”

Menurut Mujahid, “Thagut adalah setan yang berbentuk manusia, dia dijadikan sebagai hakim pemutus perkara dan dialah orang yang mengendalikan urusan mereka”

Imam Malik mengatakan, “thagut adalah semua hal selan Allah yang disembah manusia. Semisal, berhala, pendeta, ahli sihir, atau semua hal yang menyebabkan syirik.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan “orang yang dijadikan pemutus perkara seperti hakim yan memutuskan perkara dengan selain Kitabullah (Al-Qur’an) adalah toghut” [Majmu Fatawa : XXVIII/201]

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata,”Thaghut adalah segala sesuatu yang melampaui batas yang berupa ma’bud (yang diibadahi) atau matbu’ (yang diikuti) atau mutha’ (yang ditaati). Sehingga toghut adalah semua orang yang dijadikan pemutus perkara, selain Alloh dan Rasul-Nya didalam suatu kaum, atau mereka yang dibadahi selain Alloh, atau yang mereka ikuti tanpa dasar keterangan dari Alloh, atau yang mereka taati pada perkaraperkara yang mereka tidak mengetahui bahwa taat kepadanya merupakan taat pada Alloh” (’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabbil ‘Alamin :I/50]

Menurut Sayid Qutb, “Thagut adalah segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh Allah swt untuk hamba-Nya. Thagut bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban, dan lain-lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah” [Fi Zhilalil Qur’an I/292]

Menurut Syaikh Muhammad Qutb, “Thogut adalah seseorang, organisasi atau institusi, jama’ah, pemerintahan tradisi atau kekuatan yang menjadi panutan atau aturan manusia, dimana manusia tidak dapat membebaskan diri dari perintahnya dan larangannya.”

Adapun tata cara kufur kepada thaghut adalah sebagaimana yang dijabarkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah:

1. Engkau meyakini bathilnya ibadah kepada selain Allah,
2. Engkau meninggalkannya,
3. Engkau membencinya,
4. Engkau mengkafirkan pelakunya,
5. Dan engkau memusuhi para pelakunya.

Ini sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya tatkala mereka mengatakan kepada kaumnya: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadati selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja…” (QS. Al Mumtahanah 60: 4)

.

Jadi Laa ilaaha illallaah menuntut kita untuk berlepas diri, menjauhi, dan meninggalkan empat hal tadi: Alihah (sembahan-sembahan), Arbab (tuhan-tuhan pengatur), Andad (tandingan-tandingan), dan Thaghut.

.

2. Al-Itsbat
Al-Itsbat mencakup empat perkara, yaitu Al-Qashdu, At-Ta’zhim dan Al-Mahabbah, Al-Khauf dan Ar-Raja’, dan At-Taqwa.
[Al-Wala’ wal-Bara’ Fil-Islam, Muhammad bin Sa’id bin Salim Al-Qahthany].

a) Al-Qashdu, adalah tidaklah ibadah itu ditujukan melainkan hanya kepada Allah.

b) At-Ta’zhim adalah pengagungan hanya untuk Allah. Dan Al-Mahabbah, adalah cinta hanya untuk dan karena Allah.

“Dan orang-orang yang beriman lebih dahsyat/hebat cintanya kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah 2:165).

c) Al-Khauf adalah rasa takut/khawatir mendapat kemurkaan dan siksa/adzab Allah (neraka). Dan Ar-Raja’, adalah berharap mendapat rahmat dan ni’mat dari Allah (surga). Ayat yang berkenaan dengan berharap ni’mat Allah dan takut terhadap siksa Allah.

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.’ (QS. An-Anbiya’ 21:90)

“Sesungguhnya demikianlah syetan beserta pengikut-pengikutnya menakut-nakuti (orang-orang beriman). Maka janganlah kalian takut kepada mereka (setan dan wali-wali syetan), namun takutlah kepada-Ku, jika kalian orang-orang yang beriman”. (QS. Ali ‘Imran 3:175)

“Maka barangsiapa berharap berjumpa Rabbnya (Allah), hendaklah beramal dengan amalan Shalih, dan tidak menyekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya (Allah) dengan seseorangpun”. (QS. Al-Kahfi 18:110)

d) At-Taqwa, adalah takut mendapat kemurkaan dan siksa Allah dengan meninggalkan amalan syirik dan maksiat, ikhlas beribadah kepada Allah, mengikuti perintah Allah dan Syari’at Allah.

“Maka berbekallah kalian (untuk menjumpai kematian dan alam akhirat), maka sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah Taqwa”. (QS. Al-Baqarah 2:197)

berkata ‘Abdullah bin Mas’ud رضىالله عنه tentang Taqwa :
“Sesungguhnya kamu beramal ta’at kepada Allah, di atas cahaya (petunjuk) dari Allah, kamu berharap pahala Allah, dan bahwa kamu meninggalkan maksiat/durhaka kepada Allah di atas cahaya (petunjuk) dari Allah, kamu takut (khawatir,cemas) siksa Allah”.

1 komentar:

millah-ibrahim.com mengatakan...

DUKUNG DAKWAH KAMI
http://millah-ibrahim.com/berita/114-dukung-dakwah-kami

 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates