Assalamu'alaikum

Kamis, 19 April 2012

Perempuan (Memang) Pencemburu

Di inbox saya ada 38 email (jumlah ini sepertinya akan terus bertambah) dari cowok-cowok yang curhat karena frustrasi menghadapi ceweknya yang—menurutnya—terlalu pencemburu. Mereka bertanya-tanya, “Mengapa cewek sangat cemburuan begitu…???”

Karena saya pasti akan capek jika harus membalasnya satu per satu, lebih baik saya posting saja jawabannya di sini. Semoga catatan ini dapat memberikan jawaban buat cowok-cowok, juga dapat menjadi bahan masukan dan renungan buat cewek-cewek.

Jadi, mengapa cewek sangat cemburuan atau mudah cemburu…? Jawabannya, SAYA JUGA TIDAK TAHU!

Well, ini serius. Saya benar-benar tidak tahu mengapa cewek sangat pencemburu atau mudah cemburu. Boleh percaya boleh tidak, cewek sendiri pun sebenarnya tidak tahu mengapa mereka mudah cemburu. Kalau cewek ditanya, “Hei, kenapa sih kamu cemburuan begitu?” Hampir semua cewek akan menjawab kira-kira seperti ini, “Namanya juga cewek!” Jadi, para cewek merasa bahwa kecemburuan mereka yang (terkadang terlalu) besar itu sah-sah saja—karena mereka cewek!

Ini tentu saja tidak menjawab pertanyaan, I know. Tetapi, kalau kita mau melihat secara lebih dalam, kita tahu bahwa cewek adalah makhluk emosi, dan karena faktor emosi itulah yang kemudian menjadikan mereka—kaum cewek—lebih mudah merasa cemburu. Cowok terkadang juga cemburuan, atau mudah cemburu, tetapi lebih banyak yang tidak begitu. Mengapa? Karena cowok lebih menggunakan nalar dan pikirannya, sehingga lebih dapat menimbang secara objektif, termasuk dalam hal perasaan cemburunya.

Agar pemaparan di atas tidak menimbulkan salah paham, berikut ini adalah contoh bagaimana respon emosi-pikiran kita terhadap perasaan yang kita alami. Karena cowok-cowok yang berkirim email ke saya sudah menceritakan pengalaman pribadinya masing-masing, maka contoh berikut ini pun diambil langsung dari pengalaman pribadi saya.

Dulu, waktu masih kuliah, saya berpacaran dengan seorang cewek teman sekampus. Namanya pacar, saya tentu juga terkadang merasakan cemburu pada waktu-waktu tertentu. Ada kalanya, tanpa sengaja, saya melihat pacar saya didekati cowok-cowok di kampus. Ketika melihat hal semacam itu, sejujurnya, saya juga ingin cemburu. Tetapi saya kemudian berpikir, pacar saya itu cantik—tentunya wajar kalau cowok-cowok suka mendekatinya.

Jadi saya pun tidak mempersoalkan hal itu, selama dia juga dapat menjaga diri dengan baik. TETAPI, giliran saya yang dikerubuti cewek-cewek, pacar saya selalu cemburu, bahkan marah-marah, bahkan tidak jarang hal itu jadi bahan pertengkaran.

Kalau menggunakan logika kita (kaum cowok), tentunya saya dapat berkata pada pacar saya, “Hei, coba dengar. Aku tidak marah sama kamu waktu melihatmu dekat dengan cowok-cowok. Tapi kenapa kamu selalu cemburu dan marah-marah kalau melihatku dekat dengan cewek-cewek?”

Oh, dulu saya juga sempat berpikir seperti itu. Tetapi, cewek tidak berpikir dalam kerangka seperti itu! Ketika pernyataan seperti di atas saya ungkapkan kepadanya, apa jawab pacar saya? “Lho, itu kan beda!”

See…? Mereka berpikir tidak dalam kerangka logika, tetapi dalam kerangka emosi.

Kalau contoh di atas dianggap kurang kuat, berikut ini satu contoh lain yang akan semakin jelas menunjukkan bagaimana perbedaan cowok dan cewek dalam menghadapi perasaannya—khususnya perasaan cemburunya.

Ini masih pengalaman pribadi. Suatu hari, pacar saya sakit, dan saya menjenguk ke rumahnya. Oleh nyokapnya, saya diantar ke kamarnya—dan itulah kali pertama saya melihat isi kamar pacar saya. Sewaktu duduk di sofa di dekat tempatnya berbaring, tanpa sengaja saya melihat di dinding kamar ada sebuah poster besar bergambar Ariel Peterpan yang sedang bertelanjang dada. Saya ulangi, POSTER BESAR BERGAMBAR ARIEL PETERPAN BERTELANJANG DADA.

Sewaktu melihat poster-besar-bergambar-Ariel-Peterpan-bertelanjang-dada itu, reaksi saya cuma tersenyum. Setitik pun tidak ada rasa cemburu dalam hati saya. Mengapa? Karena saya masih waras! Saya tidak mungkin cemburu pada Ariel! Pertama, Ariel tidak kenal pacar saya, meskipun mungkin pacar saya merasa sangat mengenalnya. Kedua, yang tertempel di dinding kamar itu hanya poster—sungguh gila kalau saya cemburu hanya karena selembar poster. Ketiga, ada jutaan cewek lain yang tergila-gila pada Ariel, tentunya wajar kalau cewek saya juga begitu. Jadi, saya pun sama sekali tidak mempermasalahkan poster itu.

TETAPI, ternyata reaksi cewek tidak begitu ketika dihadapkan pada kenyataan yang sama—khususnya cewek saya. Tiga minggu setelah itu, pacar saya sudah sehat kembali, dan suatu hari dia datang ke rumah saya. Kami ngobrol-ngobrol di rumah. Kebetulan waktu itu saya ada acara mendadak yang tidak bisa ditunda. Maka saya pun meminta dia menunggu di rumah. Agar dia lebih nyaman selama menunggu, saya pun mempersilakannya menunggu di kamar—dan itulah pertama kalinya dia melihat isi kamar saya.

Satu jam kemudian, saya pulang ke rumah, dan mendapati pacar saya dalam keadaan ngambek parah. Dengan bingung saya bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah membuatnya ngambek seperti itu? Kau tahu sendirilah bagaimana ekspresi cewek yang sedang ngambek, jadi saya tidak mungkin bertanya kepadanya secara langsung.

Saya mencoba mengingat-ingat apa saja isi kamar saya, apa yang telah dilihatnya di kamar yang mungkin telah membuatnya ngambek…? Seingat saya, semua barang di kamar baik-baik saja—cambuk, borgol, topeng, dildo…

(Halah, itu kamar tidur apa museum sado…???)

Oke, oke, soal cambuk, borgol dan lainnya itu—saya bercanda!

Lanjut. Jadi, apa yang telah dilihatnya di kamar yang kemudian membuatnya ngambek? Padahal kamar saya dan seisinya baik-baik saja. Karena tidak juga paham apa yang membuat pacar saya ngambek, saya pun bertanya kepadanya. Seperti yang sudah saya duga, dia tidak mau menjawab, bahkan meminta agar saya memikirkannya sendiri (mengapa oh mengapa, cewek selalu berpikir kalau cowok dapat membaca pikiran ceweknya???).

Akhirnya, dengan sedikit dongkol, saya pun berkata, “Jujur, aku nggak tahu apa yang membuatmu marah begini. Dan kalau kamu nggak mau bilang, aku nggak akan pernah tahu.”

Akhirnya juga, dengan amarah yang membara, pacar saya menunjuk ke dinding kamar saya dan berteriak lirih, “Kenapa poster cewek itu harus ada di situ…???”

Ternyata oh ternyata, pacar saya marah karena ada poster Titi Kamal di kamar saya. Padahal poster itu sangat sopan dan tidak bertelanjang dada. Saya ulangi, PADAHAL POSTER ITU SANGAT SOPAN DAN TIDAK BERTELANJANG DADA. Dibanding poster Ariel yang saya lihat di kamarnya, poster Titi Kamal yang ada di kamar saya jauh lebih adil dan beradab. Jadi mengapa pacar saya harus ngambek dan marah dan cemburu…???

Saya sudah menanyakan hal itu kepadanya. Mengapa dia harus cemburu pada poster Titi Kamal—padahal saya sama sekali tak mempermasalahkan poster Ariel di kamarnya? Pacar saya menjawab, “Itu kan beda!”

Hei cowok-cowok, “Itu kan beda!”. Padahal—kalau memang mau berdebat—bedanya dimana…??? Dia memasang poster di kamar, saya juga memasang poster di kamar. Dia mengagumi artis bernama Ariel, saya mengagumi artis bernama Titi Kamal. Ariel tidak mengenal dia, Titi Kamal juga tidak mengenal saya. Di mana bedanya…??? Tetapi, “Itu kan beda!”

Jadi, di mana bedanya, coba…?

Bedanya adalah pada cara kita dalam menghadapi perasaan, dalam hal ini perasaan cemburu. Ketika menghadapi rasa cemburu atas sesuatu, saya—cowok—menghadapinya dengan nalar dan pikiran, sementara pacar saya—cewek—menghadapinya dengan hati dan emosi.

Ketika sampai pada pemahaman dan kesadaran semacam itu, saya pun kemudian melepaskan poster Titi Kamal dari dinding kamar saya—bukan untuk memanjakan ego pacar saya, tetapi karena kesadaran bahwa setiap perempuan ingin dianggap istimewa, tak tergantikan, satu-satunya.

Jadi, mengapa cewek mudah cemburu...?

sumber : Catatan Huda Manis

Sabtu, 14 April 2012

ku harus lepaskan ini semua


masa lalu tentang kisah itu masih sering teringat kembali di otakku. padahal aku udah berusaha keras untuk bisa melupakan dan menghilangkannya dari otakku. aku gak habis pikir kok bisa seperti ini. tanpa kusadari kadang aku sering bercerita kepada temanku tentang kisahku. namun semua hanya tinggal kenangan.

ku harus lepaskan ini semua.
melepaskan belenggu yang mengikat jiwa
melupakan senyum dan tawanya.
melupakan segala-galanya tentang masa lalu dengannya.

sekuat tenaga sudah ku kerahkan agar aku bisa tenang tanpa harus memikirkannya. aku harus memulai kembali hidupku yg baru. tak perlu ku ingat dan ku ungkit kembali kisah itu. aku juga akan berusaha untuk tidak hadir lagi ke dalam hidup mereka. karena akan menambah masalah saja. biarlah mereka berkata apa. bagiku ini jalanku, karena aku sudah terlalu banyak salah dengan mereka.

tapi setidaknya aku sudah sedikit tenang. kini mereka sudah menemukan pasangan mereka masing2 yang pastinya sangat mereka cintai dan sayangi. aku sendiri merasa bahwa aku tidak akan mungkin bisa memperbaiki ini semua. mudah-mudahan dengan adanya pendamping mereka, sedikit demi sedikit mampu mengobati setiap luka yang pernah ku goreskan ke dalam hidup mereka.

sekarang jalani aja hidup masing2. aku tidak mau di ganggu dan aku tidak akan mengganggu. aku akan fokus ke masa depanku dan jalan hidupku. semampuku tidak akan mau lagi mengingat dan menceritakan kisah ini sehingga kelak orang yang berada di sisiku nanti akan merasa utuh bahwa aku benar2 untuknya.

Selasa, 10 April 2012

sedih juga ceritanya..

Muslimahzone.com – Kisah “aku terpaksa menikahimu dan akhirnya aku menyesal” adalah kisah rumah tangga yang sangat memberi pelajaran bagi kita semua. Penyesalan yang datangnya hanya pada akhir karena keterpaksaan.

***

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Setelah menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku.

Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera.

Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja.

Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

“Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!”

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajeri oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

***

Begitulah penyesalan sang istri akhirnya, dia menangis dan menyesal. Ketika suaminya telah tiada, dia baru sadar betapa besarnya cinta suaminya kepada dia. Semoga hal ini tidak terjadi lagi dalam kehidupan sekarang tetapi hanya cintanya saja yang akan terjadi.
dipublikasikan oleh berbagai sumber
(zafaran/muslimahzone.com)

dimanakah dia??????


Kadangkala aku bertanya…
Dimana cinta berada..
Tersembunyi tiada kunjung menghampiri …
Dua angsa memadu rindu
Di danau biru, bercumbu …
Pagut sepi disiniku letih hati …

Begitu jauh, waktu kutempuh
Sendiri mengayuh biduk kecil
Hampa berlayar, akankah berlabuh ?
Hanya diam.. menjawab kerisauan …
Kadangkala aku berkhayal,
Seorang di ujung sana,
Juga tengah menanti tiba saatnya …

Begitu ingin, berbagi batin …
Mengarungi hari yang berwarna,
Dimana dia pasangan jiwaku ?
Kumengejar .. bayangan … kian menghilang ……


Rabu, 04 April 2012

Nasyiduna [نَشِيْدُنَا]

نَشِيْدُنَا مَشَاعِلُ الْحَيَاةِ
نَشِيْدُنَا مَطَامِحُ الدُّعَاةِ
نُوْرٌ رَجَاءٌ بَسْمَةٌ ضِيَاءُ
نَشِيْدُنَا نَارٌ عَلَى الطُّغَاةِ

Nasyid kami penyulut semangat hidup
Nasyid kami obsesi para da’i
Cahaya, harapan, senyuman dan penerang
Nasyid kami api bagi para thaghut durjana

نَشِيْدُنَا نَسَائِمٌ لِلْجِيْلِ
تَهُبُّ مِنْ رَوْضِ الْهُدَى الْجَمِيْلِ
لاَ نَبْتَغِي أَجْرًا سِوَى الْقَبُوْلِ
مِنْ رَبِّنَا وَالْخُلْدِ فِي الْجَنَّاتِ

Nasyid kami angin sejuk bagi generasi
Bertiup dari taman hidayah nan indah
Tak ada balasan kami harapkan
Selain ridha Allah dan surga abadi

نَشِيْدُنَا مَشَاعِلُ الْحَيَاةِ
نَشِيْدُنَا مَطَامِحُ الدُّعَاةِ
نُوْرٌ رَجَاءٌ بَسْمَةٌ ضِيَاءُ
نَشِيْدُنَا نَارٌ عَلَى الطُّغَاةِ

Nasyid kami penyulut semangat hidup
Nasyid kami obsesi para da’i
Cahaya, harapan, senyuman dan penerang
Nasyid kami api bagi para thaghut durjana

نَشِيْدُنَا يَطِيْرُ بِالْعِبَادِ
فِي عَالمَِ الْمِحْرَابِ وَالْجِهَادِ
يُحَطِّمُ الأَغْلاَلَ فِي عِنَادِ
يَسْمُوْ عَلَى الإِرْهَابِ وَاللَّذَاتِ

Nasyid kami terbang bersama para hamba
Dalam mihrab, dalam jihad membara
Menghancurkan belenggu kecongkakan
Meninggi menggentarkan, namun indah mengasyikkan

نَشِيْدُنَا مَشَاعِلُ الْحَيَاةِ
نَشِيْدُنَا مَطَامِحُ الدُّعَاةِ
نُوْرٌ رَجَاءٌ بَسْمَةٌ ضِيَاءُ
نَشِيْدُنَا نَارٌ عَلَى الطُّغَاةِ

Nasyid kami penyulut semangat hidup
Nasyid kami obsesi para da’i
Cahaya, harapan, senyuman dan penerang
Nasyid kami api bagi para thaghut durjana

نَشِيْدُنَا وَثِيْقَةُ احْتِجَاجِ
عَلَى شُعُوْبٍ تَعْشَقُ الدَّيَاجِ
تَلُوْبُ كَالْحَيْرَانِ فِي الْفِجَاجِ
وَفِي يَدَيْهَا أَعْظَمُ الآيَاتِ

Nasyid kami argumentasi yang kokoh
Terhadap kaum yang mabuk kepayang
Tersesat kebingungan tak tentu arah
Padahal di tangan mereka ada ayat-ayat ilahi

نَشِيْدُنَا مَشَاعِلُ الْحَيَاةِ
نَشِيْدُنَا مَطَامِحُ الدُّعَاةِ
نُوْرٌ رَجَاءٌ بَسْمَةٌ ضِيَاءُ
نَشِيْدُنَا نَارٌ عَلَى الطُّغَاةِ

Nasyid kami penyulut semangat hidup
Nasyid kami obsesi para da’i
Cahaya, harapan, senyuman dan penerang
Nasyid kami api bagi para thaghut durjana

نَشِيْدُنَا بَشَائِرٌ بِالنُّوْرِ
وَالنَّصْرِ وَالإِيْمَانِ وَالتَّحْرِيْرِ
وَهَذِهِ الأَجْيَالُ كَالطُُّيُوْرِ
تَطِيْرُ نَحْوَ اللهِ مُسْرِعَاتِ

Nasyid kami optimisme akan datangnya cahaya,
Kemenangan, iman dan pembebasan
Lihatlah generasi mendatang
Terbang cepat menuju Allah sang Kekasih

نَشِيْدُنَا مَشَاعِلُ الْحَيَاةِ
نَشِيْدُنَا مَطَامِحُ الدُّعَاةِ
نُوْرٌ رَجَاءٌ بَسْمَةٌ ضِيَاءُ
نَشِيْدُنَا نَارٌ عَلَى الطُّغَاةِ

Nasyid kami penyulut semangat hidup
Nasyid kami obsesi para da’i
Cahaya, harapan, senyuman dan penerang
Nasyid kami api bagi para thaghut durjana

KU MENCINTAMU UTUH TAK TERSENTUH

Jika ada yang bertanya, bagaimana aku memandang perkara jodoh, maka akan ku jawab, bagiku sama saja kau menanyakan keyakinanku tentang kematian..
Jodoh dan kematian adalah rahasi-Nya yang tersembunyi dalam tabir keghaiban-Nya, dan tersimpan dengan indah dalam tiap lembar daun di lauhul mahfuzh..
Lalu apa yang ku khawatirkan?

Dan kenapa pula ku harus mengejar? Tidak, aku tak sudi.. Ku katakan padamu wahai para wanita perhiasan terindah dunia..
Jangan pernah mengobral murah kehormatanmu untuk hal yang kau sendiri tak yakin kehakikiannya? Pahamkah maksudku?
Ku tanya padamu, pernahkah kau jatuh cinta? Ku akui, akupun juga… Tapi tak pantas bagi kita mengumbar rasa itu.. Rasa yg entah akan berlabuh di mana?

Lalu pikirkan, jika dia yang kau cinta, yang mengganggu tidurmu, membuatmu menangis karena rindu, ternyata bukan atau mungkin tak kan pernah menjadi pendampingmu, atau bukan kau yang dia pilih? Tak malukah? Tak malukah?
Lalu, apa masih mampu kau tatap wajah suamimu kelak dengan cinta yang seutuhnya jika ternyata dulu kau pernah menaruh separuh hatimu pada lelaki lain…

Wahai para lelaki, tak cemburukah? Tak cemburukah? Tak cemburukah kau jika saat ini wanita yang kau pilih kelak sedang menyerahkan hatinya pada lelaki selainmu, namun ternyata kau yang akan meminangnya.
Tak sakit hatikah bila ketika bersamamu, ternyata dia tengah membandingkanmu dengan sosok lain dalam hatinya? Tak sedihkah? Tak sakitkah? Tak cemburukah?

Jika kau, para lelaki, menjawab ‘ya’ maka, itu pula yang kami, wanita, rasakan..
Takkan pernah bosan ku ingatkan, bahwa yang akan berlaku tetaplah ketetapan-Nya…. Sekuat apapun usaha kalian jika tak sejalan dengan kehendak-Nya, maka tak akan pernah terjadi.. .
Lalu, buat apa kau mubazirkan waktumu? Untuk apa Kau kuras energi? Kerana apa kau habiskan airmatamu?…. untuk orang yang belum tentu menjadi milikmu? Untuk apa?
Dan ku katakan padamu. Mungkin kau yang akan memilihku belum ku cinta saat itu. Tapi ketahuilah, karena kau memilihku, kau ku cinta…

Bukankah jatuh cinta adalah sebuah proses? Akan ada sebab, akan ada hal yang membuatku jatuh cinta padamu, dan kau pun akan mencintaiku.. Dan ketika itu terjadi, semua telah terangkai dengan indah dalam kerangka kehalalan, dalam ikatan pernikahan yang disebut mitsaqan ghalizhan..
Dan tak akan pernah ada ragu ku katakan kuserahkan cintaku UTUH TAK TERSENTUH, padamu.. Hanya padamu.. ya, hanya padamu dan untukmu duhai cintaku…


Sumber : Muslimah Sejati

Selasa, 03 April 2012

Mengoreksi diriku sendiri

Bismillahirrahmanirrahim..

sesungguhnya tidak ada yang penting dari tulisanku ini. tapi semata2 hanya untuk bermuhasabah dan memperbaiki diriku sendiri agar aku selalu ingat akan apa yang pernah ku tulis. kemarin aku sempat mendengar sebuah rekaman ceramah dari ustadz Umar Mita, Lc. Di awal pembukaan ceramahnya beliau mengulas sedikit tentang rasa syukur. Sungguh ceramah beliau begitu keras menghujam hatiku. membuatku sadar dan merasa betapa aku benar2 berada pada titik kehancuran, kemunafikan, kemaksiatan bahkan yang paling aku takutkan adalah sampai titik kekufuran. Na'udzubillah min dzalik. Begitu lalai dan terlenanya nya aku selama ini. Isi ceramahnya sebagai berikut.

Ayyuhal ikhwah a’adzaniyallah wa iyyakum, jama’ah ikhwan dan akhwat semoga kita di berikan Rahmat, berkah serta di berikan istiqomah oleh Allah subhanahu wa ta’ala. tentunya tidak ada yang penting di dalam kita memulai mejelis yang mulia ini kecuali adalah menjadikan hati kita menjadi hati yang Qolbun Syakur (hati yang selalu bersyukur) kepada Allah atas semua limpahan kenikmatan yang diberikan oleh Allah dalam setiap detail kehidupan kita. Karena sesungguhnya barang siapa yang dilapangkan rezeki dan di hamparkan kenikmatan kepadanya oleh Allah, tetapi tidak bertambah ketaatan dia kepada Allah. Hati-hati, Berarti mungkin dia sedang di benci dan di murkai oleh Allah. Al Imam Al Qurtubi mengatakan, sesungguhnya Allah ketika membenci suatu kaum, manusia, hamba yang Allah murkai. Terkadang Allah tidak mengadzabnya, terkadang Allah tidak menyiksanya. Allah membenci suatu kaum karena kelalaian kaum itu kepada Allah, tidak pernah menghamparkan ketaatan untuk khusyuk dan tunduk kepada Allah. Justru terkadang Allah bukakan pintu kesenangan yang tidak pernah mereka dapatkan sebelumnya. Allah dekatkan keinginan dan kecenderungan mereka terhadap dunia, sehingga Allah datangkan kepada mereka adzab sehingga membuat mereka terhenyak.


Allah katakan di dalam surat Al An’am ayat 44 : “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”


Ketika kami dapatkan orang itu lupa kepada Allah, bukan Allah mengadzabnya, tidak Allah menyiksanya secara buru2 di dunia. Tetapi ketika Allah dapatkan suatu kaum yang lupa terhadap peringatan yang diberikan oleh Allah, maka Allah akan bukakan pintu kesenangan kepada mereka. Dikatakan oleh Imam Ibnu katsir bahwasanya Allah bukakan pintu-pintu kesenangan dunia untuknya, Allah berikan kesehatan, Allah lapangkan urusannya, supaya dia bertambah lupa kepada Allah. Ketika mereka sedang bersenang-senang kepada kenikmatan itu, Allah akan berikan adzab yang datang secara tiba-tiba. Barulah mereka datang, barulah mereka terhenyak kaget putus asa terhadap semua adzab yang Allah berikan.


Ingat ayyuhal ikhwah, ana ingatkan kepada ana secara khusus dan kepada antum secara umum. Bahwasanya kenikmatan yang tidak diiringi dengan amal sholeh, maka itu bukanlah nikmat, tetapi itu adalah istiddzrot. Perhatikan terhadap apa yang di katakan oleh Rasulullah dengan lisan beliau yang mulia. Kalau kamu melihat ada seorang hamba Allah yang diberikan kenikmatan oleh Allah atas kemaksiatan yang dia lakukan atau bertambah pula dosa, kesyirikan dan kekufuran yang dia lakukan. Ketika Allah tambahkan kepadanya rezeki, bertambah pula kemaksiatannya kepada Allah, ketahuilah bahwa itu bukan nikmat, itu adalah istiddzrot. Istiddzrot itu apa? Istiddzrot itu kalau bahasa orang jawa kalau boleh saya pinjam, itu adalah di elu-elu. Seakan-akan di naikkan untuk di jatuhkan kepada titik yang paling rendah. Semoga Allah memberi kepada kita kenikmatan yang menambah syukur kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.


Kira-kira seperti itu ceramahnya. Masih panjang sih, tapi itu hanya muqoddimahnya saja yang aku ambil. Subhanallah.. astaghfirullah.. aku menyadari betul akan kesalahan diriku. Betapa banyak kenikmatan yang Allah berikan untukku. Betapa banyak kemaksiatan yang sudah aku lakukan. Padahal aku sudah mengetahui hukumnya, aku sudah ikut mengaji dan ta’lim. Ceramah ini benar2 menyentuh sekali buatku.


Sekarang kodisiku benar2 terpuruk dan jauh dari Allah. Padahal Allah sudah memberikan aku rezeki dengan diberikan oleh Allah aku pekerjaan yang sudah ku jalani selama 2 bulan. Allah berikan aku kesehatan, Allah lapangkan urusanku. Namun justru tidak menambah rasa syukur dan ketaatanku kepada Allah. aku jarang ikut ta’lim, aku jarang mendengarkan ceramah di mp3 ku. aku jarang membaca Al Qur’an apalagi menghafalnya. Hafalanku yang sudah ku hafal kini menjadi banyak yang lupa dan buyar. Bahkan sampai aku lupa dan meninggalkan kewajiban sholat. Na’udzubillah min dzalik.

Astaghfirullah :(

Aku sudah terkena fitnah syubhat dan syahwat dan termasuk firman Allah di dalam surat Al An’am ayat 44. Allah berikan aku kenikmatan, Allah buat aku semakin lupa akan peringatanNya. Allah palingkan aku dari setiap peringatan yang ada.


Ya Allah… ampuni hamba. Hamba begitu lalai dengan segala peringatan dariMu serta tidak bersyukur atas nikmat dan kesenangan yang Engkau berikan.

Ya Allah Engkau begitu Maha Pengasih dan Penyayang, di balik keterpurukan dan keberpalingan hamba, Engkau selalu memberi hamba peringatan terus menerus dan menyadarkan diri hamba sehingga Engkau gerakkan dan sadarkan kembali hati ini untuk medengarkan kembali ceramah2 yang hamba miliki.

Ya Allah lipat gandakanlah pahala untuk ustadz-ustadz dan teman-teman hamba yang selalu memotivasi hamba.

Ya Allah berikanlah ke dalam hati hamba rasa khouf, roja’, dan mahabbah terhadap Engkau ya Robb.

Wahai Dzat yang Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati hamba di atas agamaMu.


ieDzoels

April’12

 
Design Downloaded from Free Blogger Templates | Free Website Templates